Rabu, 11 Desember 2013


Balik Modal dan Pengabdian, 2 Pilihan Sulit Dokter Setelah Lulus
               Jurusan Pendidikan Dokter (PD) selalu menjadi jurusan paling favorit bagi kebanyakan anak-anak SMA di Indonesia, terutama Jurusan Pendidikan Dokter di kampus-kampus favorit, mulai yang negeri seperti UI, UGM, UNAIR, UNDIP, UNPAD, UB, dan UNSRI, hingga kampus-kampus swasta seperti Universitas Trisakti, Universitas Muhammadiyah, dan lain-lain. Banyak siswa-siswi yang rela menghabiskan waktunya ketika SMA demi meraih cita-cita menjadi seorang dokter. Bagi mereka, masuk PD adalah kebanggan tersendiri. Mereka tahu betapa keras dan kejamnya persaingan untuk memperebutkan bangku kuliah di PD. Bahkan, tak jarang kita dengar tak sedikit uang yang disiapkan dan dikucurkan para orang tua demi melihat anaknya menjadi seorang dokter.
               Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya untuk kuliah di PD tidak murah. Universitas-universitas negeri saja memasang tarif yang tidak sedikit, apalagi yang swasta. Memang ada kampus yang biaya kuliah di PD nya relatif lebih murah daripada PD di universitas lain, namun jumlah biaya tersebut masih tergolong tinggi bagi ukuran rakyat Indonesia. Kecuali yang mendapatkan beasiswa bidik misi, biaya yang harus ditanggung mahasiswa PD lebih tinggi daripada jurusan-jurusan lain. Hal ini mungkin disebabkan bearnya biaya praktikum di PD, membeli mayat, mahalnya alat, dan lain-lain.
               Pengorbanan orang tua yang anaknya ingin menjadi dokter itu tidak mudah. Orang tua harus siap secara mental dan materi. Mereka harus siap menerima kenyataan bahwa anaknya yang ingin menjadi dokter bakal menghadapi pilihan sulit ketika lulus, yakni balik modal atau ingin mengabdi. Mereka juga harus siap mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, bahkan tidak jarang ada orang tua yang sampai menjual mobilnya demi biaya pendidikan anaknya di PD. Di sisi lain, ada beberapa mahasiswa PD yang berasal dari keluarga kurang mampu dan tidak dikenakan biaya sama sekali selama kuliah di PD. Namun, ujian orang tua mereka juga tidak kalah berat. Orang tua mereka harus siap melewatkan waktunya tanpa anaknya yang ingin menjadi dokter. Orang tua mereka juga harus siap bekerja tanpa dibantu anaknya, dimana ketika SD hingga SMA, anaknya sering membantunya mencari nafkah.
               Ada sebuah kisah singkat yang menggambarkan besarnya pengorbanan orang tua untuk melihat anaknya kelak menjadi dokter. Teman SMA kami, sebut saja Ari, ingin melanjutkan kuliah di PD di suatu universitas negeri ternama di Indonesia. Ia berhasil masuk PD melalui jalur SNMPTN Tulis. Singkat cerita, ia pun mendaftar ulang ke universitas itu. Dilihat dari penghasilan orang tuanya sebagai PNS, sekitar Rp 5 juta per bulan, ia termasuk golongan menengah. Uang gedung, begitu ia menyebutnya, jumlahnya cukup besar, sekitar Rp 128 juta. Jumlah yang sangat besar bagi orang tua yang bekerja sebagai PNS. Orang tuanya pun memutuskan untuk mengangsur uang gedung itu selama 2-3 tahun, sekaligus dengan uang muka. Angsuran per bulannya sekitar Rp 2 juta, sehingga gaji orang tuanya otomatis langsung terpotong Rp 2 juta untuk melunasi uang gedung, dan sisa Rp 3 juta untuk menghidupi keluarga. Sungguh pengorbanan materi yang sangat besar dari orang tua demi si Ari, sampai-sampai orang tuanya harus berhemat tiap bulannya.
               Banyak kesan positif dan negatif yang disematkan masyarakat kita kepada para calon dokter, walaupun kesan itu sebenarnya tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Kesan positifnya adalah dokter merupakan pekerjaan yang mulia, kalau ada keluarga yang sakit bisa diobati tanpa bayar, kalau ada teman yang sakit bisa nego fee jasa dokter memakai istilah “harga teman”, dan lain-lain. Kesan negatif yang disematkan beberapa orang kepada dokter adalah kelak bakal sulit mencari pekerjaan karena sudah banyak dokter praktek, rumah sakit dan puskesmas kelak tidak mampu menampung dokter lagi, dokter itu mata duitan, fee dokter kadang naik tiba-tiba, dan lain-lain. Beberapa atau semua kesan di atas bisa jadi benar, namun juga bisa jadi salah. Semua tergantung dari bagaimana para calon dokter memahami dan merancang masa depannya sebagai seorang dokter.
               Kita berbicara tentang masa depan seorang dokter. Maka, tak ada salahnya kita memetik informasi tentang bagaimana kehidupan di PD dan masa depan yang diharapkan oleh mahasiswa-mahasiswi PD dari pengakuan seorang calon dokter, yang kebetulan adalah teman SMA kami. Sebut saja namanya Bunga. Bunga adalah mahasiswi PD universitas swasta di Indonesia. Ia baru masuk PD setahun setelah ia lulus dari SMA. Di percobaan pertamanya dulu, ia gagal masuk PD. Ia hanya masuk Jurusan Kebidanan. Ia merasa tidak cocok dan memutuskan untuk mencoba peruntungannya masuk PD untuk kedua kalinya tahun depan. Ia pun berhasil masuk PD.
               Pengakuan Bunga tentang kehidupan kuliah di PD sangat unik. Di awal-awal masa kuliahnya, ia sudah terbiasa belajar di antara pukul 02.00=03.00 pagi. Pagi sampai malam selalu dipenuhi tugas-tugas yang menumpuk, sehingga ia harus rela mengurangi waktu tidurnya demi belajar. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa biaya gedung yang ia bayar sangat mahal, lebih dari Rp 100 juta. Ia juga mengaku bahwa banyak sekali alat-alat kedokteran yang harus ia beli dan miliki sealam kuliah di PD, seperti stetoskop, tensimeter, dan lain-lain. Akan tetapi, ia mengaku bisa mendapat tambahan uang jika menjadi asisten dosen (asdos). Praktikum yang harus ia jalani di awal-awal kuliah ini cukup banyak, seperti farmakologi, histologi, anatomi, dan fisiologi. Ia juga merasa solidaritas di PD sangat kuat, terutama kalau ada teman yang pemahamannya kurang, karena jika pemahamannya kurang, bisa berbahaya bagi pasien yang ditangani nanti.
               Untuk meraih masa depan yang cerah, tak cukup bagi Bunga untuk menguasai ilmu kedokteran saja. Ia wajib mengasah soft skill nya lewat organisasi di kampus. Ia mengikuti organisasi kampus, contohnya PTBMMKI (Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran Indonesia). Untuk masa depannya, ia ingin menjadi dokter spesialis dan dosen, namun tergantung situasi ke depannya. Ia juga ingin meraih beasiswa ke luar negeri yang disediakan universitasnya jika ingin mengambil spesialis.  Ia juga melihat masa depan dengan perasaan sebagai seorang manusia. Ia merasa jika ingin kadi dokter, jangan berharap untuk cepat dapat pekerjaan dan uang yang banyak. Sekolah dokter diakuinya berat, namun gajinya nanti tak seberapa. Ia memiliki prinsip bahwa ia ingin menolong orang sambil bekerja, agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia juga yakin rezeki akan mengalir dengan sendirinya asal ikhlas menolong orang lain.
               Pengakuan Bunga sungguh luar biasa. Ia secara tidak langsung berbicara kepada kami bahwa ia ingin mengabdi lebih kepada masyarakat. Ia tidak terlalu mengharapkan balasan materi yang berlebihan. Namun, ia juga pernah menuturkan di lain waktu, bahwa ia berprinsip seperti itu karena memang kodrat wanita bukan untuk fokus mencari nafkah untuk keluarganya kelak. Ia berprinsip bahwa suaminya kelaklah yangbertanggung jawab terhadap nafkah keluarga. Secara tidak langsung, ia menginginkan suami yang memiliki penghasilan yang lebih untuk menopang kehidupan keluarganya kelak. Namun, ia tidak mengharapkan suami yang hartanya sangat banyak. Asal cukup untuk kebutuhan sehari-hari, ia sudah merasa cukup. Ia merasa bahwa wanita memang bukan diciptakan sebagai “mesin uang” utama untuk keluarganya. Maka, ia merasa mengabdi kepada keluarga dan masyarakat lebih penting.
               Pengakuan Bunga mungkin bisa mewakili pemikiran-pemikiran mahasiswi PD lainnya, walaupun tak semuanya berpikiran sama seperti itu. Ada yang berpikir uang adalah tanggung jawab laki-laki, walaupun juga ada yang ingin mendapatkan uang dari profesinya. Yang menjadi masalah utama adalah para calon dokter laki-laki. Mereka dihadapkan situasi yang sulit kelak. Di satu sisi, mereka harus mengadi kepada masyarakat. Namun, di sisi lain, ia menjadi tulang punggung keluarganya dalam mencari nafkah. Jika dokter wanita bisa memilih untuk mengabdi atau mencari nafkah saja, maka seorang dokter laki-laki mau tidak mau harus mencari nafkah. Mengabdi kepada masyarakat bisa dilakukan atau tidak, tergantung situasi yang dihadapinya nanti.
               Ada seorang dokter laki-laki yang patut kita apresiasi. Namanya Dokter Lo yang berasal dari Solo. Ia menggratiskan biaya berobat bagi pasien dari kalangan menengah ke bawah, uang kebetulan menjadi mayoritas pasiennya. Ia bahkan memberi resep dengan cuma-cuma kepada pasiennya yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ia merasa tugas dokter adalah sesuai dengan sumpah jabatannya, yaitu melayani masyarakat lebih dahulu, melebihi kepentingan apapun di luar itu. Kesehatan dan keselamatan pasien adalah prioritas utama seorang dokter. Seorang dokter harus melayani pasiennya yang butuh bantuan, tanpa melihat strata sosialnya terlebih dahulu. Ia juga mendapat pesan dari ayahnya bahwa jika ia menjadi dokter, jangan berharap kaya. Jika ingin kaya, maka jadilah pengusaha. Ia benar-benar mempraktikkan apa yang dikatakan ayahnya.
               Bagaimana dengan dokter laki-laki di zaman sekarang, yang sudah mengeluarkan uang banyak untuk pendidikannya, akan tetapi ia wajib menafkahi keluarganya kelak? Mau tidak mau, sebagai seorang laki-laki, ia harus menanggung nafkah keluarganya. Namun, ia juga harus mengaplikasikan ilmunya di masyarakat, sesuai dengan sumpah dokter tadi. Berkaca dari pengakuan Bunga, pengalaman Dokter Lo, dan mungkin pengalaman-pengalaman dokter lainnya, maka pilihan seorang dokter, terutama laki-laki, untuk balik modal biaya kuliah atau mengabdi kepada masyarakat adalah pilihan mereka masing-masing. Kita tidak mampu memaksa mereka untuk mengabdi atau mencari nafkah.
               Pekerjaan menjadi seorang dokter adalah anugerah yang unik. Ia mampu menghasilkan uang, namun juga mampu menolong orang lain secara langsung. Ia mampu melakukan keduanya dengan bersamaan, dimana 2 hal ini tidak bisa dilakukan secara bersamaan oleh profesi-profesi lain. Yang harus dimiliki oleh semua dokter, terutama dokter-dokter Indonesia adalah keyakinan. Keyakinan bahwa profesinya adalah profesi yang mulia. Mereka harus yakin dengan banyak membantu orang lain, maka rezeki Allah tak akan tertahan. Kita sebagai orang yang bukan dokter, sering melihat profesi dokter dari sisi materi, padahal profesi dokter tidak dapat dinilai secara materi saja, walaupun materi yang dikeluarkan untuk belajar menjadi dokter sangat banyak. Karena hanya dengan keyakinan lah, seorang dokter mampu mengaplikasikan ilmu-ilmunya denga baik.
               Semoga dokter-dokter Indonesia memiliki hati yang mulia untuk menolong orang lain. Semoga pemerintah memperhatikan kesejahteraan para dokter kita. Semoga kita yang berprofesi bukan sebagai dokter mampu melihat profesi dokter dengan positif. Dokter bukan profesi yang mudah. Sudah sepantasnya kita memberi apresiasi tinggi kepada mereka. Semoga kesehatan Indonesia semakin maju  ke depannya dengan makin mulianya hati para dokter Indonesia.

image

Tidak ada komentar:

Posting Komentar