Rabu, 25 Desember 2013

Gurita Sang Pencari Ilmu

Gurita Sang Pencari Ilmu
          Olimpiade Gurita adalah acara yang ditunggu-tunggu oleh semua gurita di dunia, termasuk Piti si gurita merah. Acara ini mempertemukan seluruh gurita-gurita terbaik dari seluruh belahan dunia. Ajang ini menjadi ajang keilmuan yang dimiliki oleh gurita-gurita terbaik di masing-masing daerahnya. Gurita-gurita dituntut untuk selalu memperbarui ilmunya agar mampu bersaing di Olimpiade Gurita. Piti sudah tak sabar ikut di dalamnya. 
          Piti belajar dengan giat. Ia selalu mencari informasi kesana kemari tak pernah lelah. Ia selalu bermimpi memenangi Olimpiade Gurita. Ia tidak ingin melewatkan masa hidupnya dengan sia-sia. Piti berguru kepada siapapun yang ia anggap punya ilmu lebih, tak peduli lebih muda atau tua. Piti benar-benar seirus menimba ilmu untuk mempersiapkan dirinya di ajang tersebut.
          Olimpiade Gurita sudah ada sejak lama. Acara ini sudah berlangsung sebanyak 10 kali dimulai pada tahun 2001, dengan jeda antar Olimpiade Gurita sebanyak 1 tahun. Acara ini akan berlangsung untuk ke-11 kalinya pada tahun ini. Persiapan-persiapan yang dimiliki gurita-gurita,termasuk Piti, haruslah sangat matang.
          Olimpiade Gurita ini memiliki beberapa jagoan. Pertama, Imi si gurita hijau. Imi berasal dari Laut Bermuda, Amerika Tengah. Imi telah menjuarai Olimpiade Gurita sebanyak 3 kali, yakni tahun 2001, 2002, dan 2003. Jagoan kedua adalah Fini si gurita hitam dari Laut Filipina, Asia Tenggara. Fini telah menjuarai Olimpiade Gurita sebanyak 2 kali, yakni pada tahun 2005 dan 2006. Fini selalu menjadi peringkat 2 di Olimpiade Gurita sejak tahun 2007-2010, sehingga di tahun 2011 ini dia berambisi untuk merebut predikat juara Olimpiade Gurita. Sedangkan Piti bukan menjadi unggulan di dalam kejuaraan ini.
          Juara terbanyak Olimpiade Gurita adalah Gili si gurita coklat. Gili adalah gurita yang berasal dari Samudera Pasifik, tepatnya di Utara negara Vanuatu. Gili menjadi juara Olimpiade Gurita sejak tahun 2007-2010. Ia sudah memenangi ajang tersebut sebanyak 4 kali. Gili sangat berambisi untuk menambah koleksi gelar juaranya pada tahun ini.
          Olimpiade Gurita pun akan segara dimulai. Seluruh gurita dari seluruh belahan dunia berkumpul di tempat kejuaraan. Tuan rumah Olimpiade Gurita kali ini adalah Laut Banda, Indonesia. Seluruh gurita mulai berdatangan di Laut Banda sehari sebelum Olimpiade Gurita dimulai. Para gurita tuan rumah menyambut para peserta dengan ramah. Tuan rumah sangat menghargai dan mengutamakan kenyamanan para tamu selama berada di Laut Banda, Indonesia.
          Pembukaan Olimpiade Gurita esok harinya berlangsung meriah. Pembukaan diawali oleh sambutan Pak Ode si gurita kuning. Beliau menyambut seluruh peserta dan mengajak untuk sportif dalam meraih kemenangan. Pembukaan dilengkapi dengan atraksi kembang api yang luar biasa indah. Olimpiade Gurita pasti berlangsung sangat meriah.
          Olimpiade Gurita pun dimulai. Babak penyisihan pun dimulai. Para peserta sebanyak 32 gurita dibagi menjadi 8 grup. Masing-masing grup diisi oleh 4 gurita. Imi, Fini, Gili, dan Piti berada di 4 grup yang berbeda. Setiap grup akan diwakili 2 gurita terbaik di masing-masing grup, sehingga total ada 16 gurita terbaik yang lolos ke babak ke-2. Di babak kedua, setiap gurita akan saling berhadapan satu lawan satu, sehingga nanti diperoleh 8 gurita terbaik di babak semifinal. Lalu, 4 gurita terbaik akan didapatkan dari babak semifinal untuk bertarung di babak final.
          Para peserta menunjukkan kemampuan dan kecerdasannya di Olimpiade Gurita kali ini. Tiga gurita unggulan, yakni Imi, Fini, dan Gili yang diprediksi bakal melenggang ke final benar-benar tidak kesulitan untuk melewati babak penyisihan. Para jagoan itu mulai menemui kesulitan di babak ke-2. Namun, mereka bertiga mampu melewati hadangan lawan-lawannya. Dengan kualitas yang sangat prima, 3 jagoan itu mampu melewati babak semifinal dan melenggang ke final. 
          Finalis yang ke-4 adalah Piti si gurita merah yang berasal dari Laut Natuna, Indonesia. Para penonton tak mengira Piti bisa menembus babak final. Namun, melihat sepak terjang Piti sejak babak penyisihan, maka tak salah ia pantas masuk sebagai finalis. Seluruh penonton tertuju kepada Piti.
          Babak final akhirnya tiba. Babak yang ditunggu-tunggu oleh seluruh gurita di seluruh dunia akhirnya datang. Ada 4 gurita terbaik yang berhasil mengalahkan lawan-lawannya di babak-babak sebelumnya. Para finalis terdiri dari Imi, Fini, Gili, dan Piti. Para finalis diharuskan menjawab soal-soal dari juri. Siapa yang mampu menjawab dengan benar dan memiliki jumlah terbanyak, ialah pemenangnya.
          Babak final berlangsung seru. Ada 65 soal yang diajukan juri dengan sistem rebutan.  Masing-masing jawaban benar dari peserta bernilai 1 poin. Para finalis harus berfikir keras dan cepat untuk mampu menjawab dengan benar. Para finalis silih berganti menjawab soal-soal dari juri. Para penonton bersorak gembira jika melihat jagoannya mampu menjawab dengan benar. 
           Babak final kali ini benar-benar menegangkan. Piti kelihatan kesulitan di awal-awal. Namun, ia berhasil bangkit di pertengahan babak. Skor masing-masing gurita berbeda sangat tipis. Di Olimpiade-Olimpiade sebelumnya, ketika soal memasuki nomor 55 biasanya sudah bisa ditebak siapa pemenangnya, karena selisih poin yang jauh. Namun, sekarang sangat berbeda. Hingga pertanyaan ke 60, skor ke-4 finalis berbeda sangat tipis,sehingga masih sulit diprediksi siapa pemenangnya. Piti terlihat tegang karena belum pernah menghadapi kondisi seperti ini
          Babak final pun mencapai klimaksnya. Soal ke-64 mampu dijawab Gili dengan benar, sehingga Gili pun berhasil menyamakan skor dengan ke-4 finalis menjadi sama 16 poin. Pertanyaan ke-65 pun mejadi pertanyaan penentu siapa juara Olimpiade kali ini. Para finalis dengan siaga menunggu dan mendengarkan pertanyaan dari juri. Mereka yakin pertanyaan ke-65 ini pasti pertanyaan tersulit di Olimpiade Gurita kali ini.
“Apakah Pluto termasuk planet? Sebutkan alasannya”, tanya juri.
“Hmmm...”, gumam para penonton setelah mendengarkan pertanyaan yang ternyata begitu mudah untuk dijawab.
“Ya, betul pak. Pluto termasuk planet karena ia memiliki orbit, mengelilingi matahari, dan tidak mengeluarkan cahaya”, jawab si Gili dengan tegas diikuti oleh muka kecewa finalis lainnya, termasuk Piti, karena kurang cepat menjawab soal tersebut.
“Jawaban anda, salah. Silahkan finalis lain yang memiliki pendapat lain”, kata juri.
          Para finalis dan penonton sangat kaget dengan jawaban juri. Mereka semua pasti tahu bahwa Pluto adalah planet ke-9 di tata surya kita. Namun, para juri malah menyalahkan jawaban itu. Terlihat si Gili sangat terpukul dengan jawaban itu. Ia takut kehilangan gelarnya. Terlihat Fini, Imi, dan Piti sedang berpikir keras. Mereka mengingat-ingat kembali ilmu tentang tata surya mereka. Tiba-tiba, Piti mengangkat tangannya untuk menjawab soal juri tersebut.
“Pluto bukanlah anggota tata surya lagi. Ia memang memiliki orbit yang mengelilingi matahari, namun orbitnya tidaklah seperti planet-planet lain yang orbit melingkar. Orbit Pluto memotong orbit planet lain, seperti Uranus dan Neptunus, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai planet. Tahun 2010, ilmuwan NASA juga sudah mengeluarkan Pluto dari golongan planet di tata surya kita. Sehingga, Pluto bukanlah planet lagi sekarang”, jawab Piti dengan lancar.
          Para juri berdiskusi sejenak setelah mendengar jawaban Piti. Penonton dan para finalis lain pun kaget dengan jawaban Piti. Para juri pun membenarkan jawaban Piti dan Piti pun menjadi juara Olimpiade Gurita untuk pertama kalinya. Piti tak percaya bahwa ia menjadi juara Olimpiade Gurita. Ia sangat bangga dan senang denga prestasinya ini. Ia sama sekali tidak menyangka bisa mengalahkan jagoan-jagoan yang sangat diunggulkan.
          Sesi penyerahan hadiah dan medali pun tiba. Fini mendapat juara 3, Imi mendapat juara 2, dan Piti mendapat juara 1. Setelah menerima medali, Piti diberi kehormatan untuk berbicara di hadapan seluruh penonton dan peserta Olimpiade Gurita.
“Terima kasih kepada ayah dan ibu saya yang telah membantu saya meraih prestasi ini. Terima kasih juga untuk guru-guru, teman-teman, dan semua orang yang telah membantu saya. Saya tidak menyangka bisa mendapat gelar ini. Saya bukanlah orang-orang jenius seperti teman-teman peserta Olimpiade Gurita ini. Saya tidak memiliki tingkat kecerdasan yang sangat tinggi. Namun, saya suka mencari ilmu-ilmu yang baru dari siapapun dan manapun. Saya selalu peka terhadap apa yang ada di dunia ini, sehingga saya juga tahu apa yang menjadi hal baru di dunia ini, termasuk tentang Pluto tadi. Oleh karena itu, teman-teman semua, janganlah kita merasa sudah pandai dan merasa tidak butuh ilmu yang baru. Yakinlah, dunia ini selalu berubah dan selalu ada yang baru. Hilangkan rasa sok pandai kita, dan mari tingkatkan rasa keingintahuan kita”, kata Piti di depan seluruh penonton dan peserta diikuti tepuk tengan meriah dari seluruh peserta dan penonton.

                    Piti telah menunjukkan bahwa bakat alami hanyalah sebagian kecil penentu kesuksesan. Kerja dan belajar keraslah yang membuat kita sukses. Bakat hanya mampu menunjukkan potensi kita sesaat. Namun, bakat tanpa dipoles dengan kerja dan belajar yang keras, tidak akan pernah mengantarkan kita kepada kesuksesan. 


Rabu, 11 Desember 2013


Balik Modal dan Pengabdian, 2 Pilihan Sulit Dokter Setelah Lulus
               Jurusan Pendidikan Dokter (PD) selalu menjadi jurusan paling favorit bagi kebanyakan anak-anak SMA di Indonesia, terutama Jurusan Pendidikan Dokter di kampus-kampus favorit, mulai yang negeri seperti UI, UGM, UNAIR, UNDIP, UNPAD, UB, dan UNSRI, hingga kampus-kampus swasta seperti Universitas Trisakti, Universitas Muhammadiyah, dan lain-lain. Banyak siswa-siswi yang rela menghabiskan waktunya ketika SMA demi meraih cita-cita menjadi seorang dokter. Bagi mereka, masuk PD adalah kebanggan tersendiri. Mereka tahu betapa keras dan kejamnya persaingan untuk memperebutkan bangku kuliah di PD. Bahkan, tak jarang kita dengar tak sedikit uang yang disiapkan dan dikucurkan para orang tua demi melihat anaknya menjadi seorang dokter.
               Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya untuk kuliah di PD tidak murah. Universitas-universitas negeri saja memasang tarif yang tidak sedikit, apalagi yang swasta. Memang ada kampus yang biaya kuliah di PD nya relatif lebih murah daripada PD di universitas lain, namun jumlah biaya tersebut masih tergolong tinggi bagi ukuran rakyat Indonesia. Kecuali yang mendapatkan beasiswa bidik misi, biaya yang harus ditanggung mahasiswa PD lebih tinggi daripada jurusan-jurusan lain. Hal ini mungkin disebabkan bearnya biaya praktikum di PD, membeli mayat, mahalnya alat, dan lain-lain.
               Pengorbanan orang tua yang anaknya ingin menjadi dokter itu tidak mudah. Orang tua harus siap secara mental dan materi. Mereka harus siap menerima kenyataan bahwa anaknya yang ingin menjadi dokter bakal menghadapi pilihan sulit ketika lulus, yakni balik modal atau ingin mengabdi. Mereka juga harus siap mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, bahkan tidak jarang ada orang tua yang sampai menjual mobilnya demi biaya pendidikan anaknya di PD. Di sisi lain, ada beberapa mahasiswa PD yang berasal dari keluarga kurang mampu dan tidak dikenakan biaya sama sekali selama kuliah di PD. Namun, ujian orang tua mereka juga tidak kalah berat. Orang tua mereka harus siap melewatkan waktunya tanpa anaknya yang ingin menjadi dokter. Orang tua mereka juga harus siap bekerja tanpa dibantu anaknya, dimana ketika SD hingga SMA, anaknya sering membantunya mencari nafkah.
               Ada sebuah kisah singkat yang menggambarkan besarnya pengorbanan orang tua untuk melihat anaknya kelak menjadi dokter. Teman SMA kami, sebut saja Ari, ingin melanjutkan kuliah di PD di suatu universitas negeri ternama di Indonesia. Ia berhasil masuk PD melalui jalur SNMPTN Tulis. Singkat cerita, ia pun mendaftar ulang ke universitas itu. Dilihat dari penghasilan orang tuanya sebagai PNS, sekitar Rp 5 juta per bulan, ia termasuk golongan menengah. Uang gedung, begitu ia menyebutnya, jumlahnya cukup besar, sekitar Rp 128 juta. Jumlah yang sangat besar bagi orang tua yang bekerja sebagai PNS. Orang tuanya pun memutuskan untuk mengangsur uang gedung itu selama 2-3 tahun, sekaligus dengan uang muka. Angsuran per bulannya sekitar Rp 2 juta, sehingga gaji orang tuanya otomatis langsung terpotong Rp 2 juta untuk melunasi uang gedung, dan sisa Rp 3 juta untuk menghidupi keluarga. Sungguh pengorbanan materi yang sangat besar dari orang tua demi si Ari, sampai-sampai orang tuanya harus berhemat tiap bulannya.
               Banyak kesan positif dan negatif yang disematkan masyarakat kita kepada para calon dokter, walaupun kesan itu sebenarnya tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Kesan positifnya adalah dokter merupakan pekerjaan yang mulia, kalau ada keluarga yang sakit bisa diobati tanpa bayar, kalau ada teman yang sakit bisa nego fee jasa dokter memakai istilah “harga teman”, dan lain-lain. Kesan negatif yang disematkan beberapa orang kepada dokter adalah kelak bakal sulit mencari pekerjaan karena sudah banyak dokter praktek, rumah sakit dan puskesmas kelak tidak mampu menampung dokter lagi, dokter itu mata duitan, fee dokter kadang naik tiba-tiba, dan lain-lain. Beberapa atau semua kesan di atas bisa jadi benar, namun juga bisa jadi salah. Semua tergantung dari bagaimana para calon dokter memahami dan merancang masa depannya sebagai seorang dokter.
               Kita berbicara tentang masa depan seorang dokter. Maka, tak ada salahnya kita memetik informasi tentang bagaimana kehidupan di PD dan masa depan yang diharapkan oleh mahasiswa-mahasiswi PD dari pengakuan seorang calon dokter, yang kebetulan adalah teman SMA kami. Sebut saja namanya Bunga. Bunga adalah mahasiswi PD universitas swasta di Indonesia. Ia baru masuk PD setahun setelah ia lulus dari SMA. Di percobaan pertamanya dulu, ia gagal masuk PD. Ia hanya masuk Jurusan Kebidanan. Ia merasa tidak cocok dan memutuskan untuk mencoba peruntungannya masuk PD untuk kedua kalinya tahun depan. Ia pun berhasil masuk PD.
               Pengakuan Bunga tentang kehidupan kuliah di PD sangat unik. Di awal-awal masa kuliahnya, ia sudah terbiasa belajar di antara pukul 02.00=03.00 pagi. Pagi sampai malam selalu dipenuhi tugas-tugas yang menumpuk, sehingga ia harus rela mengurangi waktu tidurnya demi belajar. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa biaya gedung yang ia bayar sangat mahal, lebih dari Rp 100 juta. Ia juga mengaku bahwa banyak sekali alat-alat kedokteran yang harus ia beli dan miliki sealam kuliah di PD, seperti stetoskop, tensimeter, dan lain-lain. Akan tetapi, ia mengaku bisa mendapat tambahan uang jika menjadi asisten dosen (asdos). Praktikum yang harus ia jalani di awal-awal kuliah ini cukup banyak, seperti farmakologi, histologi, anatomi, dan fisiologi. Ia juga merasa solidaritas di PD sangat kuat, terutama kalau ada teman yang pemahamannya kurang, karena jika pemahamannya kurang, bisa berbahaya bagi pasien yang ditangani nanti.
               Untuk meraih masa depan yang cerah, tak cukup bagi Bunga untuk menguasai ilmu kedokteran saja. Ia wajib mengasah soft skill nya lewat organisasi di kampus. Ia mengikuti organisasi kampus, contohnya PTBMMKI (Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran Indonesia). Untuk masa depannya, ia ingin menjadi dokter spesialis dan dosen, namun tergantung situasi ke depannya. Ia juga ingin meraih beasiswa ke luar negeri yang disediakan universitasnya jika ingin mengambil spesialis.  Ia juga melihat masa depan dengan perasaan sebagai seorang manusia. Ia merasa jika ingin kadi dokter, jangan berharap untuk cepat dapat pekerjaan dan uang yang banyak. Sekolah dokter diakuinya berat, namun gajinya nanti tak seberapa. Ia memiliki prinsip bahwa ia ingin menolong orang sambil bekerja, agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia juga yakin rezeki akan mengalir dengan sendirinya asal ikhlas menolong orang lain.
               Pengakuan Bunga sungguh luar biasa. Ia secara tidak langsung berbicara kepada kami bahwa ia ingin mengabdi lebih kepada masyarakat. Ia tidak terlalu mengharapkan balasan materi yang berlebihan. Namun, ia juga pernah menuturkan di lain waktu, bahwa ia berprinsip seperti itu karena memang kodrat wanita bukan untuk fokus mencari nafkah untuk keluarganya kelak. Ia berprinsip bahwa suaminya kelaklah yangbertanggung jawab terhadap nafkah keluarga. Secara tidak langsung, ia menginginkan suami yang memiliki penghasilan yang lebih untuk menopang kehidupan keluarganya kelak. Namun, ia tidak mengharapkan suami yang hartanya sangat banyak. Asal cukup untuk kebutuhan sehari-hari, ia sudah merasa cukup. Ia merasa bahwa wanita memang bukan diciptakan sebagai “mesin uang” utama untuk keluarganya. Maka, ia merasa mengabdi kepada keluarga dan masyarakat lebih penting.
               Pengakuan Bunga mungkin bisa mewakili pemikiran-pemikiran mahasiswi PD lainnya, walaupun tak semuanya berpikiran sama seperti itu. Ada yang berpikir uang adalah tanggung jawab laki-laki, walaupun juga ada yang ingin mendapatkan uang dari profesinya. Yang menjadi masalah utama adalah para calon dokter laki-laki. Mereka dihadapkan situasi yang sulit kelak. Di satu sisi, mereka harus mengadi kepada masyarakat. Namun, di sisi lain, ia menjadi tulang punggung keluarganya dalam mencari nafkah. Jika dokter wanita bisa memilih untuk mengabdi atau mencari nafkah saja, maka seorang dokter laki-laki mau tidak mau harus mencari nafkah. Mengabdi kepada masyarakat bisa dilakukan atau tidak, tergantung situasi yang dihadapinya nanti.
               Ada seorang dokter laki-laki yang patut kita apresiasi. Namanya Dokter Lo yang berasal dari Solo. Ia menggratiskan biaya berobat bagi pasien dari kalangan menengah ke bawah, uang kebetulan menjadi mayoritas pasiennya. Ia bahkan memberi resep dengan cuma-cuma kepada pasiennya yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ia merasa tugas dokter adalah sesuai dengan sumpah jabatannya, yaitu melayani masyarakat lebih dahulu, melebihi kepentingan apapun di luar itu. Kesehatan dan keselamatan pasien adalah prioritas utama seorang dokter. Seorang dokter harus melayani pasiennya yang butuh bantuan, tanpa melihat strata sosialnya terlebih dahulu. Ia juga mendapat pesan dari ayahnya bahwa jika ia menjadi dokter, jangan berharap kaya. Jika ingin kaya, maka jadilah pengusaha. Ia benar-benar mempraktikkan apa yang dikatakan ayahnya.
               Bagaimana dengan dokter laki-laki di zaman sekarang, yang sudah mengeluarkan uang banyak untuk pendidikannya, akan tetapi ia wajib menafkahi keluarganya kelak? Mau tidak mau, sebagai seorang laki-laki, ia harus menanggung nafkah keluarganya. Namun, ia juga harus mengaplikasikan ilmunya di masyarakat, sesuai dengan sumpah dokter tadi. Berkaca dari pengakuan Bunga, pengalaman Dokter Lo, dan mungkin pengalaman-pengalaman dokter lainnya, maka pilihan seorang dokter, terutama laki-laki, untuk balik modal biaya kuliah atau mengabdi kepada masyarakat adalah pilihan mereka masing-masing. Kita tidak mampu memaksa mereka untuk mengabdi atau mencari nafkah.
               Pekerjaan menjadi seorang dokter adalah anugerah yang unik. Ia mampu menghasilkan uang, namun juga mampu menolong orang lain secara langsung. Ia mampu melakukan keduanya dengan bersamaan, dimana 2 hal ini tidak bisa dilakukan secara bersamaan oleh profesi-profesi lain. Yang harus dimiliki oleh semua dokter, terutama dokter-dokter Indonesia adalah keyakinan. Keyakinan bahwa profesinya adalah profesi yang mulia. Mereka harus yakin dengan banyak membantu orang lain, maka rezeki Allah tak akan tertahan. Kita sebagai orang yang bukan dokter, sering melihat profesi dokter dari sisi materi, padahal profesi dokter tidak dapat dinilai secara materi saja, walaupun materi yang dikeluarkan untuk belajar menjadi dokter sangat banyak. Karena hanya dengan keyakinan lah, seorang dokter mampu mengaplikasikan ilmu-ilmunya denga baik.
               Semoga dokter-dokter Indonesia memiliki hati yang mulia untuk menolong orang lain. Semoga pemerintah memperhatikan kesejahteraan para dokter kita. Semoga kita yang berprofesi bukan sebagai dokter mampu melihat profesi dokter dengan positif. Dokter bukan profesi yang mudah. Sudah sepantasnya kita memberi apresiasi tinggi kepada mereka. Semoga kesehatan Indonesia semakin maju  ke depannya dengan makin mulianya hati para dokter Indonesia.

image

Senin, 09 Desember 2013

Refreshing

Lingkaran Malam Nan Mulia

Lingkaran? Tahukah kalian apa lingkaran itu? Yak. Saya yakin kita semua tahu apa lingkaran itu. Kita tahu betapa banyak lingkaran di dunia ini. Betapa banyak bentuk lingkaran dalam kehidupan ini. Akan tetapi, tahukah engkau lingkaran nan mulia? Lingkaran yang dijamin tak akan merugikan kita sedikit pun? Lingkaran yang kelak akan mengantarkan kita kepada kesenangan abadi.

 "What circle are we talking about?"....

Lingkaran itu tak lain adalah lingkaran dzikrullah. Lingkaran yang diisi orang-orang yang dibanggakan Allah di hadapan para penduduk lain. Lingkaran yang senantiasa membuat malaikat mengepakkan sayapnya di atas lingkaran itu. Lingkaran yang membuat setan lari tunggang langgang. Lingkaran yang membuat hati yang selalu terkotak-kotak oleh nafsu dunia, menjadi hati yang melingkar di dalam ampunan Sang Khalik. Sungguh mulia lingkaran itu. Masalahnya, seberapa sering kita hadir di dalam lingkaran itu?

Suatu sore, di sebuah masjid kampus, banyak lingkaran-lingkaran yang bersama-sama mengingat Allah. Lingkaran-lingkaran itu terpaku oleh ayat-ayat suci dari sebuah kitab yang "Laa Roiba fiih". Mereka memang belum mampu meneteskan air mata, namun semoga ait mata hati mereka keluar, bagaikan air terjun yang jatuh dari atas. Semoga air mata mereka, termasuk kami, juga akan keluar mengingat dosa-dosa yang datang dengan istiqmahnya menghampiri diri ini. Semoga kita masih disempatkan Allah untuk menangisi kebodohan-kobodohan kita di dunia ini, terutama kami yang sangat banyak kebodohannya.

Pertanyaannya sekarang, seberapa sering dan cinta kita dengan lingkaran semacam itu? Seberapa peduli kita untuk membentuk lingkaran itu di lingkungan yang baru yang bernama perantauan? Mungkin kita masih malas   membentuk lingkaran mulia itu. Di sela-sela kesibukan kuliah dan merantau ini, tak ada salahnya kita mulai membentuk lingkaran itu. Membentuk lingkaran super indah dan barakah. Apakah kita di tanah perantauan ini lebih suka dan sering membentuk lingkaran di mall-mall, bioskop, pinggiran jalan, dan tempat-tempat lain yang kurang bermanfaat? Semoga tidak. 

Mari kita bentuk lingkaran indah itu dari sekarang. Mulailah dari 1 minggu 1 kali. Itu sudah menunjukkan kemauan keras kita untuk mengingat Allah,  Berbagi ceritalah di lingkaran itu. Cerita yang kiranya mampu membawa hikmah dan pelajaran bagi anggota lingkaran itu. Mulailah datangi majelis-majelis ilmu, atau pun kalo tak ada waktu, dengarkanlah majelis-mejelis ilmu di radio dan internet, entah tulisan, suara, video dan sebagainya. Kalau pun tak sempat, rutinkanlah untuk selalu menjaga amalan harian, shalat, tilawah, dan lain-lain. Semoga kita semua berada di lingkaran yang benar. Lingkaran yang akan menggelindingkan kita ke jannah. Semoga tumbuh lingkaran-lingkaran baru nan indah, yang diberkahi Allah. 

JGJ, 101213


E-Learing Untuk Guru dan Siswa

Guru Jangan Gagap Teknologi

       Teknologi sudah menjamah dunia di zaman ini. Teknologi bukan menjadi barang yang mewah sekarang. Bahkan, teknologi menjadi alat bantu yang wajib dimiliki siapapun agar tidak ketinggalan informasi dan perkembangan zaman. Hampir tidak ada bagian di dunia ini yang tidak disentuh teknologi, walaupun hanya teknologi sederhana. Bidang apapun di dunia ini juga sudah disentuh oleh teknologi, mulai pertanian, kesehatan, peternakan, pendidikan, dan lain-lain.
       Hampir semua bidang sudah tersentuh teknologi, termasuk dunia pendidikan. Dunia pendidikan, yang di zaman dahulu akrab dengan kesan tergantung pada guru, menulis di papan tulis, buku-buku tebal, dan kesan-kesan lainnya, sudah memiliki kesan yang sangat berbeda di zaman sekarang. Buku-buku yang tebal yang menjadi ciri khas dunia pendidikan dahulu, sekarang sudah bisa disimpan dan diringkas dalam sebuah data di dalam komputer, laptop, tablet, dan lain-lain. Alat-alat seperti komputer, laptop, tablet, smartphone, dan lain-lain, benar-benar memudahkan para pelaku di dunia pendidikan sekarang untuk mendapatkan ilmu.
       Fasilitas kelas di zaman sekarang pun sudah berbeda dengan zaman dahulu. Di zaman dahulu, kelas hanya diisi dengan meja, kursi, dan papan tulis. Kelas di zaman memiliki perlengkapan tambahan, seperti komputer, LCD, proyektor, CCTV, dan lain-lain. Alat-alat tersebut digunakan untuk memudahkan proses belajar mengajar. Hal ini diharapkan bermanfaat bagi semua elemen pendidikan, terutama guru dan siswa.
       Sayangnya, banyak guru di zaman ini, khusunya di Indonesia, yang kurang memanfaatkan kemajuan teknologi yang sudah ada. Walaupun tidak semua guru, namun ada beberapa guru yang masih suka mengajar dengan cara dan perlengkapan konvensional. Kemungkinannya ada 2, yaitu para guru tersebut memang lebih nyaman dengan metode mengajar yang lama, atau para guru tersebut kurang mau belajar untuk menguasai teknologi yang sudah ada. Kemungkinan kedua mungkin menjadi penyebab terbesar mengapa beberapa guru tidak mau belajar menguasai teknologi. Hal ini kurang baik jika melihat perkembangan zaman yang semakin dinamis ini, dimana siswa-siswa begitu dekat dengan teknologi, sementara ada beberapa guru yang kurang dekat dengan teknologi.
       Mari kita simak sebuah kejadian, yang menggambarkan betapa teknologi mampu melancarkan transfer ilmu. Suatu ketika di sekolah kami, kami akan memasuki pelajaran biologi yang akan membahas tentang sistem peredaran darah. Intinya peredaran darah ada 2, peredaran darah besar dan peredaran darah kecil. Peredaran darah besar mengalirkan darah ke suluruh tubuh, sedangkan peredaran darah kecil mengalirkan darah ke paru-paru. Penjelasan yang disampaikan guru biologi bersumber dari sebuah buku cetak. Penjelasannya dituliskan dan dijelaskan begitu detail dan urut. Para siswa tentu saja mengantuk mendengarkan penjelasan guru yang tiada ujung tersebut. Melihat situasi itu, guru itu menyalakan komputer dan menayangkan sebuah video yang menggambarkan aliran darah ke seluruh tubuh dan paru-paru yang berasal dari jantung. Para siswa yang tadinya mengantuk, tiba-tiba saja terbangun dan memperhatikan tayangan tersebut. Transfer ilmu pun berjalan lebih cepat. Kejadian ini mungkin sekaligus membenarkan suatu ungkapan yang menyatakan "Satu gambar lebih bermakna daripada seribu kata". Teknologi mampu memudahkan proses belajar mengajar yang dulunya terpaku oleh penjelasan guru.
       Hal buruk yang bisa diakibatkan jika guru tidak menguasai teknologi, atau biasanya disebut gagap teknologi, cukup banyak. Salah satu yang paling fatal adalah berkurangnya antusias para siswa dalam mengikuti pelajaran di kelas. Para siswa merasa ilmu dari guru bisa didapatkan dengan mudah di internet, sehingga para siswa di kelas merasa malas mendengarkan penjelasan dari guru. Hal ini tentu berbahaya bagi para siswa. Rasa hormat mereka kepada guru mereka menjadi berkurang, dan rasa sayang guru kepada para siswanya juga berkurang karena para siswanya malas mendengarkan penjelasannya. Maka sudah seharusnya, seorang guru mampu menguasai teknologi. Mereka harus sadar, menjadi guru di era milenium seperti ini sudah berbeda dengan menh=jadi guru di era tahun 1980-1990-an. Era milenium menuntut penguasaan teknologi dan informasi, karena semua hal sudah tersentuh teknologi.
       Oleh karena itu, para guru harus mampu menyikapi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, karena bisa dipastikan, hampir semua siswa-siswi mereka sudah menguasai teknologi. Tak mudah memang untuk meenguasai teknologi dengan cepat, apalagi mengaplikasikannya langsung di dalam proses belajar mengajar. Para guru membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan teknologi. Dengan penguasaan teknologi, kualitas guru Indonesia bisa dipastikan meningkat dan mampu bersaing dengan guru-guru dari negara lain. Sungguh aneh jika di suatu acara yang mempertemukan guru-guru dari beberapa negara, namun guru-guru dari Indonesia kurang menguasai teknologi, secara tidak langsung akan membuat guru-guru kita berkecil hati ketika melihat perkembangan dan penguasaan teknologi oleh guru-guru dari negara lain.
       Alat-alat dengan teknologi canggih seperti komputer, laptop, tablet, dan lain-lain bukanlah barang yang murah. Ada harga yang harus dibayar untuk menguasai teknologi dan informasi. Maka, di sinilah peran pemerintah dalam mendukung perkembangan teknologi dan informasi di dunia pendidikan. Sudah sepantasnya pemerintah memperhatika kualitas guru dalam hal penguasaan teknologi dan informasi. Dengan bekal itu, transfer ilmu dari guru kepada para putra-putri Indonesia mampu berjalan dengan lebih baik dan lebih cepat. Semoga dunia pendidikan Indonesia mampu berkembang dan menghasilkan anak-anak bangsa yang berkualitas, yang kelak akan membangun negara Indonesia ini. 

Klik gambar di bawah untuk bergabung dengan "Indonesia Berprestasi".



Penulis : Zulhilmi Yahya
Akun twitter : @zulhilmiyahya
Alamat domisili : Pogung Baru A-2 no.1, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
No ponsel : 089671590061